Motto

Hidup adalah pembelajaran tak kenal henti....

Friday, February 8, 2013

Ta'arudh, Tarjih, dan Qawaidul Fiqh

A.    TA’ARUDH AL-ADILLAH
1.    Pengertian Ta’arudا al-Adhillah
Kata ta’arudh, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-Adhillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum islam disebut ta’arudh[1]. Jadi, yang dimaksud dengan berbenturan dalil-dalil hukum adalah saling berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu di antara dua dalil itu menjadikan hukum yang ditunjukan oleh dalil lainnya.
Ta’arud al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara dzahir dengan derajat yang sama. Maksud dari satu derajat yang sama adalah antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.[2]
Selain itu yang dalam Ta’arudh al-Adillah yang harus diperhatikan juga adalah pertentangan itu menyangkut permasalahan yang sama dan di waktu yang sama, sebagaimana pengertian Ta’arudh al-Adillah berikut: “Masing-masing dalil menghendaki hukum yang sama terhadap satu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.”[3]
Ini sesuai dengan pendapat Asywadie Syukur bahwa menurut arti syara’ ialah berlawanannya dua nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu.[4]
Seperti dalam riba’, Rasulullah SAW bersabda:
لَا رِبً الَّا فِي النَّسِيْئَةِ
Artinya: “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang-piutang).” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis diatas menyatakan bahwa tidak ada bentuk riba’ selain riba’ nasi’ah, padahal ada hadis lainnya tentang riba’ fadl, seperti diterangkan dalam hadis:

لَا تَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ الَّا مِثْلًا بمِثْلٍ
Artinya: “jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.” (HR. Bukhari Muslim dan Ibn Hambal)
Antara hadis yang pertama dengan hadis yang kedua terjadi pertentangan dalam hukumnya. Hadis pertama membolehkan riba fadl, dan hadis kedua mengharamkannya. Wahbah al-Juhili berpendapat bahwa 1 dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam memahami dan menganalisisnya, serta sejauh mana kekuatan logikannya. Ia beralasan bahwa tidaklah mungkin Allah SWT atau Rasulullah SAW menurunkan dalil yang saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya.
Contoh lain misalnya firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari . . . (Q.S. 2, al-baqarah : 234)
Nash ini juga menghendaki keumumannnya, yaitu setiap isteri yang ditinggal mati suaminya, iddah-nya akan selesai dengan masa empat bulan sepuluh hari. Baik istri sedang hamil atau tidak.
Dan firmannya-Nya :
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya :  Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya . . . (Q.S. 65, ath –thalaq : 4)
Nash ini juga menghendaki keumumannnya yaitu bahwa setiap istri yang sedang hamil, iddah-nya akan selesai lantaran melahirkan kandungannya. Baik dia itu karena ditinggalkan suaminya atau karena di talak.[5]
Maka istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah suatu peristiwa yang dikehendaki nash pertama agar iddahnya selesai dengan menanti empat bulan sepuluh hari. Sedangkan nash kedua menghendaki agar iddahnya selesai lantaran melahirkan kandungannya. Jadi dua nash itu kontradiksi dalam peristiwa ini..
Begitu pula Imam asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qathi’ (dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil zhanni (kebenaran dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya, misalnya antara al-Quran dengan hadis, maka yang diambil adalah al-Quran[6].
Dari pengertian-pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam Ta’arudh al-Adillah terkandung:
·      Adanya dua dalil atau lebih
·      Menyangkut permasalahan yang sama
·      Mengandung ketentuan yang berbeda (bertentangan)
·      Dalil-dalilnya mempunyai derajat yang sama
·      Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu

2.    Cara Menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah
Cara penyelesaian ta’arudh al-adillah yang dikenal masyur dikalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah dan jumhur ulama.
a.       Menurut Ulama Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut:
a.       Nasakh, yaitu membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.
b.      Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut.
c.       Al-Jam’u wal al-Taufiq. Mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya.
d.      Tasaquth al-Dalilain. Menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah, misalnya tidak dapat mengambil keterangan dari al-Quran, maka akan diambil dari sunnah, jika masih betentangan maka diambil metode qiyas.[7]

b.      Menurut Jumhur Ulama
Metode yang digunakan oleh jumhur ulama, terdiri dari kalangan ulama-ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahitiyah. Untuk menyelesaikan ta’arudh al-adillah, mereka menetapkan kaidah bertahap (gradasi) dari point-point berikut:
a)      Al-Jam’u wat Tawfiq (penggabungan dan penyesuaian). Maksudnya menggabung dan mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan tadi atau dengan kata lain, mencari titik temu dari dalil-dalil tersebut. Karena, sepanjang dalil itu dapat dijadikan hujjah, pada prinsipnya keberadaan dalil adalah untuk diamalkan, bukan untuk diabaikan.
b)      Tarjih (mencari yang lebih kuat). Yakni mencari dalil yang lebih kuat, misalnya pada hadis dilihat mana yang lebih kuat sanad dan matan (kualitas) hadis tersebut maka itulah dalil yang dipakai untuk diamalkan.
Keterangan: penjelasan lebih lanjut lihat bagian tarjih.
c)      Nasakh (menghapus). Artinya menghapus ketentuan hukum yang ditunjukkan oleh dahulu terdahulu dengan hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang belakangan. Misalnya: dalam satu kasus dalil A muncul pada awal Islam, sementara dalil B muncul pada masa menjelang Rasul SAW wafat. Maka dalil B yang belakangan inilah yang dijadikan hujjah.
d)     Tasaqut al-Dalalain (menggugurkan kedua dalil). Apabila ketiga cara sebelumnya tidak ditemukan solusi, maka ulama tidak mengambil salah satu dalil dari keduanya, melainkan mendiamkan (tawaqquf) sampai ditemukan penyelesaian dalil tersebut.[8]

B.     TARJIH
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
a.       Menurut Ulama Hanafiyah :
اِفْهَاْرِزيَادَةٍ لأحَدِ الْمُتَمَا ثِلَيْنِ عَلىَ الأخِربِمَا لاَيَسْتَقِدُ
Artinya: “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.
b.       Menurut Jumhur Ulama:
تَقِو يَةُ إِحْدَى اْلإِمارتين على ا لأَخْرى لِيَعْمَا ِبهَا
Artinya: “Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”[9]
Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka, tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i.
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya berlawanan.
Sebelum melakukan tarjih perlu diketahui syarat-syaratnya :
1.      Yang menjadi soal itu satu masalah tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji, maka semua riwayatnya urusan haji.
2.      Dalil-dalil yang berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-Quran dengan al-Quran, dan hadis  mutawatir dengan hadis-hadis mutawatir pula.
3.      Harus ada persesuaian hukum antara keduanya baik waktunya, tempatnya, dan keadaannya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada azan Jumat, di waktu yang lain jual beli dibolehkan.
Cara Pentarjihan
Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu:
a.       Tarjih ditinjau dari segi sanad:
·         Hendaklah dipilih sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
·         Hendaklah dipilih rawi-rawinya yang ahli fiqih dari pada yang bukan karena mereka lebih mengetahui maksud yang diriwayatkan.
·         Hendaklah dipilih yang rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari pada yang lainnya
·         Hendaklah dipilih rawinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakannya karena biasanya ia lebih mengetahuinya.
·         Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan, dan
·         Hendaklah dipilih rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi Saw.[10]
b.      Tarjih ditinjau dari segi matan hadits:
·         Teks yang  mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak segala kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
·         Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukan kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukum  bolehnya telah terbawa sekaligus.
·         Makna hakikat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi lain untuk menguatkannya.
·         Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
·         Teks umum yang belum dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan (takhsis).
·         Teks yang sifatnya perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
·         Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang yang mufassar, karena teks yang muhkam lebih pasti dibanding teks mufassar.
·         Teks yang syarih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran (kinayah).[11]
c.       Tarjih ditinjau dari segi isi hadits /madlul:
·           Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
·           Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit ‘alan nafi).
·           Mendahulukan yang mengandung pembatalan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
·           Mendahulukan yang hukumannya ringan dari pada yang berat, dan
·           Mendahulukan yang menetapkan hukum ashalatau Bara’ah ashliyah.[12]
d.      Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar hadits:
·      Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil-dalil lain.
·      Didahulukan hadis qauliyah dari pada fi’liyah, dan
·      Didahulukan hadits (riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-Qur’an.[13]

C.    QAWAIDUL FIQHIYYAH
1.   Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah
Secara etimologis Qawaidul Fiqhiyyah terbentuk dari dua suku kata, yaitu Qawa’id dan Fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk jamak (plural) dari qaidah yang berarti dasar-dasar atau pondasi tertentu, baik dalam arti konkrit ataupun abstrak. Sedangkan kata Fiqhiyyah diambil dari kata fiqh (الفقه) yang ditambah ya nisbat yang berfungsi sebagai penjenisan atau pembangsaan. Secara etimologi (bahasa) makna fiqh lebih dekat dengan ilmu. Dengan demikian secara etimologis Qawaidul Fiqhiyyah dapat diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang dapat digunakan untuk mengistinbat suatu hukum syara (fiqh).
Secara epistimologis terdapat banyak pendapat ulama dalam mendefinisikan arti Qawaidul Fiqhiyyah, di antaranya:
·         Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, “Qawaidul fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat universal, menggunakan redaksi-redaksi singkat yang bersifat undang-undang, serta mencakup hukum-hukum syara’ umum tentang peristiwa-peristiwa yang masuk ke dalam ruang lingkupnya.[14]
·         Al-Jurani mendefinisikan Qawaidul Fiqhiyyah dengan “ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[15]
Qawaidul fiqhiyyah disebut juga kaidah syari’iyah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengistimbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.


2.   Sejarah Perkembangan dan Penyusuan Qawaidul Fiqhiyyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan qawaidul fiqhiyyah diklasifikasikan menjadi 2 stadium pembentukan dan 2 stadium penyusunan (kodifikasi):
a.       Stadium Pembentukan
Pada stadium pembentukan, sulit dilacak pencetus-pencetus kaidah-kaidah fiqhiyah, yang jelas kaidah-kaidah itu dicetuskan oleh pakar-pakar fuqaha’ seperti Imam Mudzahib dan kemudian diteruskan oleh ulama-ulama yang sesudah mereka dan dipindahkan dari mazhab ke mazhab yang lain.
Kaidah fiqhiyaah yang mulanya merupakan surat khusus atau semacam saran bagi yang memerlukan hukum. 
Tiada wewenang bagi imam untuk mengambil sesuatu dari seseorang kecuali dengan dasar-dasar hukum yang berlaku.” (Hasbi as-Shiddiq, 1976: 435).
Kemudian dari saran itu dapat juga dijadikan sebagai kaidah fiqhiyah pada fase berikutnya.
b.      Stadium Kodifikasi
Usaha-usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhyiyah bertujuan agar kaidah-kaidah tersebut dapat berguna bagi perkembangan ilmu fiqhiyyah pada masa-masa berikutnya, serta untuk mempertahankan loyalitas hasil ijtihad para mazhabi, sehingga bagi pengikutnya tidak bermazhab bil qouli (hasil ijtihad), namun yang lebih tepat adalah bermazhab bil manhaji (metodologinya).
Adapun Ulama-ulama yang berhasil mengkodifikasi/menyusun kitab tentang Qawaidul Fiqhiyyah pada masa ini adalah: 
1)        Kalangan fuqaha Hanafiyah
Di antara penyusun kitab adalah: Abu Thahir ad-Dibas, Imam Abu Zaid Abdullah Ibnu Umaruddin ad-Dabusy al-Hanafi, Zainul Abidin Ibnu Ibrahim al-Mishry (926-970H), Ahmad Ibnu Muhammad al-Hamawy, dan Muhammad Abu Said al-Khadimy.
2)        Kalangan fuqaha Malikiyah
Penyusun kitab di antaranya: Imam Juzaim, Syihabudin Abil Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafy.

3)        Kalangan fuqaha Syafi’iyah
Penyusun kitab di antaranya ialah: Imam Muhammad Izzuddin ibnu Abdis Salam dan Imam Tajudin as-Subky.
4)        Kalangan fuqaha Hambaliyah
Penyusun kitab kaidah di antaranya: Najmuddin ath-thufy dan Imam Abdurrahman Rajab.

3.   Tujuan dan Manfaat Qawaidul Fiqhiyyah
Para ulama menyusun qawaidul fiqhiyyah dengan beberapa tujuan, antara lain:
a.         Untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk ruang lingkupnya.
b.         Untuk menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun berbeda-beda merupakan satu jenis illat dan maslahat.
c.         Untuk mempermudah fuqaha dalam menetapkan hukum perbuatan seorang mukallaf.[16]
Adapun manfaat (kegunaan) dari qawaidul fiqhiyyah, oleh para ulama dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)         Dengan mengetahui qawaidul fiqhiyyah kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab qawaidul fiqhiyyah itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya. Dengan qawaidul fiqhiyyah kita mengetahui benang merah yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
b)        Dengan memerhatikan qawaidul fiqhiyyahakan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, yaitu dengan memasukan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu qawaidul fiqhiyyah.
c)         Dengan qawaidul fiqhiyyahakan lebih arif di dalam memerepkanfikih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d)        Dengan menguasai qawaidul fiqhiyyah, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada qawaidul fiqhiyyah.
e)         Orang-orang yang mengetahui qawaidul fiqhiyyahakan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum Islam (ruh al-hukm) yang tersimpul di dalam  qawaidul fiqhiyyah.
f)         Orang yang menguasai qawaidul fiqhiyyahdi samping qawaidul ushuliyyah, akan memiliki keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran.[17]





4.   Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Pokok)

Al-Qawa’id  al-Khamsah adalah lima buah kaidah yang oleh para ulama fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan kaidah-kaidah fiqih lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas terhadap hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup seluruh kaidah-kaidah fikih yang ada.  Mengingat pentingnya al-Qawa’id  al-Khamsah ini maka dalam setiap buku/kitab tentang kaidah fiqih pasti di dalamnya terdapat “kelima kaidah” ini.
Kelima kaidah tersebut adalah:
a)      الأُمُورُ بِمِقَاصِدِهَا
Segala perbuatan tergantung niatnya”  
Para ulama telah sepakat bahwa suatu perbuatan ibadah tidak sah tanpa disertai niat (kecuali dalam beberapa hal saja yang termasuk pengecualian). Itu artinya dalam setiap perbuatan mukallaf (baik dalam ibadah mahdah ataupun ghairu mahdah) perlu disertai dengan niat.
Terhadap pentingnya niat ini, Imam al-Suyuthi menyatakan: “Apabila kau hitung masalah-masalah fikih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya”.[18]

b)      الضَّرَرُيُزَالُ
Kemudharatan (harus) dihilangkan
Menurut Ahmad al-Nadwi, penerapan kaidah “al-dhararu yuzaalu” ini meliputi lapangan yang sangat luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi fikih yang ada.[19]Hal ini karena dalam setiap hukum yang ditetapkan oleh syariat Islam selalu bertujuan untuk menarik manfaat atau menolak mudharat. Adapun kaidah tersebut bertujuan mewujudkan salah hal tersebut (yaitu menolak mudharat).

c)      العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum
Yang dimaksud dengan adat adalah membiasakan sesuatu yang dapat diterima oleh tabi’at yang sehat dan mengulang-ulangnya. Dalam hal ini Adat identik dengan ‘urf ‘amali (tradisi/kebiasaan).[20]
Adapun adat yang bisa dipertimbangkan dalam menetapkan hukum adalah al-adah al-shahihah (adat yang sahih, benar, dan baik). Yaitu apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum dan dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Hal yang harus dipehatikan dalam memutuskan hukum/perkara dengan adat adalah:
1)        Mempertimbangkan keadaan kasus itu sendiri (seperti apa kasusnya, waktu, tempat, pelaku, sebab, dan bagaimana proses kejadiannya).
2)        Mempertimbangkan hukum. Dalam mempertimbangkan hukum ini terutama terutama hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam nash, maka adat dapat dijadikan pertimbangan.[21]
d)     المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
Kesulitan mendatangkan kemudahan
Makna kaidah tersebut adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syariah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannnya tanpa kesulitan dan kesukaran.[22]
Dasar dari kaidah ini adalah bahwa ajaran Islam tidak menghendaki sesuatu yang memberatkan/membebani umatnya. Dimana Allah tidak akan membebani seseorang dengan sesuatu di luar kemampuannya. Demikian pula dengan segala yang diperintahkan Rasulullah SAW kepada umatnya, semata-mata untuk kemudahan menjalankan ajaran agama.
e)      اليَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِ
keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan.
Kaidah ini sangat penting dalam hukum Islam. Tujuannya adalah untuk memudahkan penerapan hukum Islam, dengan cara menghilangkan keragu-raguan. Karena keragu-raguan yang timbul dapat mempersulit mukallaf dalam menjalankan kewajiban. Contohnya seseorang yang ragu-ragu apakah ia berhadats atau tidak, maka ia boleh meninggalkan keragu-raguan (bahwa ia berhadats) dan meyakini kondisi asal dirinya (yaitu suci).

5.   Qawaidul Fiqhiyyah yang Umum (Al-Qawaid Fiqhiyyah Al-‘Ammah)
Qawaidul fiqhiyyah yang umum adalah kaidah-kaidah fikih yang yang cakupannnya meliputi berbagai cabang ilmu fikih. Kaidah-kaidah tersebut yaitu:
1)   الإِجْتِهَادُ لَا يَنْكُضُ بِالإِجْتِهَادِ
Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian.


2)   التَّابِعُ تَابِعٌ
Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti
3)   التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُطِ الْمَتْبُوعِ
Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti
4)   التَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ الْمَتْبُوعِ
Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti
5)   يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lain
6)   التَّابِعُ لَا يُفْرَدُ بِالحُكْمِ
Pengikut itu menyendiri di dalam hukum
7)   اذَاجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الآخَرِ غَالِبًا
Apabila bersatu dua perkara dari satu jenis dan maksudnya tidak berbeda, maka hukum salah satunya dimasukan kepada hukum yang lainnya
8)   الرِّضَى بِالشَّيْءِ رِّضَى بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Ridha atas sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut.
9)   لَا يُنْسَبُ إِلَى سَاكِتٍ قَوْلٌ وَلَكِنَّ السُّكُوْتَ فِي مَعْرَضِ الْحَاجَهةِ إِلِى الْبَيَانِ بَبَانٌ
Perkataan tidak bisa disandarkan kepada yang yang diam, tetapi sikap diam dalam hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan.
10)       الوَاجِبُ لَا يُتْرَكُ اِلَّا لِوَاجِبٍ
Sssuatu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu yang  wajib lagi
11)       مَالَا يَتِمُّ الوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal itu hukumnya wajib pula.
12)       مَا حَرُمَ إِسْتِعْمَالُهُ حَرُمَ إِتِّخَاذُهُ
Apa yang haram digunakan, haram pula didapatkan
13)       مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاءُهُ
Apa yang haram diambil, haram pula diberikan
14)       المَشْغُوْلُ لَا يُشْغَلُ
Sesuatu yang sedang dijadikan obyek berbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan obyek perbuatan lainnya.
15)       يُقْبَلُ قَوْلُ المُتَرَجِّمُ مُطْلَقًا
Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat
16)       النِّعْمَةُ بِقَدْرِ النِّقْمَةِ وَ النِّقْمَةُ بِقَدْرِ النِّعْمَةِ
Kenikmatan disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah disesuaikan dengan kenikmatan
17)       لَا مَسَاغُ لِلْإِجْتِهَادِ فِى مَوْرِدِ النَّصِّ
Tidak diperkenanakan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya
18)       المَيْسُرُلَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar dijalankan
19)       يُدْخِلُ الْقَوِيُّ عَلَى الضَّعِيْفِ وَلَا عَكْسَ
Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya
20)       الحَقَانِ المُخْتَلِفَانِ لَا يَتَدَاخَلَانِ
Dua hak yang berbeda tidak saling menyerap
21)          مَاحُرِمَسَدًّ لِلذَّرِيْعَةِ أُبِبْحَ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ
Apa yang diharamkan karena sadd al-dzari’ah (menutup jalan kepada yang mafsadah), dibolehan karena adanya kemaslahatan yang lebih kuat
22)       الحُقُوْقُ لَا يَجُوْزُ فِيْهَا إَلَّا مَا يَجُوْزُ فِى الْحُكْمِ
Hak tidak bisa ditetapkan kecuali yang ditetapkan oleh hukum
23)        الإِشَارَةُ تَقُوْمُ مَقَامَ العِبَارَةِ
Tanda/isyarat menduduki kedudukan pernyataan yang diucapkan
24)       إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوْعُ
Apabila suatu penghalang telah hilang maka hukum yang dihalanginya kembali seperti semula
25)       الحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
Hukum untuk menjaga sesuatu sama dengan yang dijaga
26)       دَلِيْلُ الشَّيْءِ فِى الْأُمُوْرِ البَاطِنَةِ يَقُوْمُ مَقَامَهُ
Petunjuk sesuatu pada unsur-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil
27)       ذِكْرُ البَعْضِ مَا لَا يَتَجَزَّء كَذِكْرِ كُلِّهِ
Menyebutkan sesuatu yang tidak bisa dibagi, seperti menyebutkan keseluruhannya
28)       مَا تُشْتَرَطُ فِيْهِ عِدَّةُ شَرَائِطَ يَنْتَفِي بِانْتِفِاءِ إِحْدَاهَا
Apa yang disyaratkan padanya beberapa syarat (syarat kumulatif) maka hal tersebut menjadi tidak berlaku dengan tidak ada salah satunya
29)       يَلْزَمُ مُرَاعَةُ الشَّرْطِ بِقَدْرِ الْإِ مْكَانِ
Diharuskan menjaga syarat sesuai dengan kemampuan
30)       مَنْ مَلَكَ شَيْئًا مَلَكَ مَا هُوَ فِى ضَرُوْرَتِهِ
Barangsiapa yang memiliki sesuatu, maka dialah kebutuhannya
31)          الإِشَارَةُ المَعْهُوْدَةُ لِلأَحْرَاسِ كَالْبَيَانِ بِاللِسَانِ
Isyarat yang diketahui yang biasa dilakukan oleh orang bisu sama kedudukannya dengan penjelasan dengan lisan
32)       كُلُّ شَرْطِ مُخَالِفُ أُصُوْلَ الشَّرِيْعَةِبَاطِلٌ
Setiap syarat yang menyalahi dasar-dasar syariah adalah batal
33)       مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
Barang siapa mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut
34)       المُعَلَّقُ بِالشَّرْطِ يَجِبُ ثُبُوْتُهُ عِنْدَ ثُبُوْتِ الشَّرْطِ
Sesuatu yang digantung kepada sesuatu syarat, wajib adanya ketika adanya syarat
35)        لَا يُنْزَعُ شَيْئٌ مِنْ يَدِ اَحَدٍ إِلَّا بِحَقٍّ ثَابِتٍ
Sesuatu hak tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan yang tetap
36)       الإِكْرَاهُ يَسْقُطُ أَثَرَ التَّصَرُّفِ فِعْلًا كَانَ أَوْ قَوْلًا
Keadaan dipaksa menghilangkan pengaruh/akibat tindakan hukum baik perbuatan maupun perkataan
37)       كُلُّ تَصَرُّفٍ تَقَاعَدَ عَنْ تَحْصِيْلِ مَقْصُوْدِهِ فَهُوَ بَاتِلٌ
Setiap tindakan hukum yang menggagalkan berhasilnya yang dimaksud adalah batal
38)       كُلُّ حَقٍ وَجَبَ عَلَيْهِ فَلَا يُبَر ِّئُهُ مِنْهُ إِلَّا أَدَائِهِ
Setiap kewajiban yang dibebankan kepada seseorang maka dia tidak terbebas dari kewajibannya kecuali ia melaksanakannnya.[23]
Selain al-Qawa’id  al-Khamsah dan al-Qawa’id al-‘Ammah masih ada lagi kaidah-kaidah fikih yang cakupannya lebih sempit. Yaitu kaidah yang hanya berlaku dalam cabang-cabang fikih tertentu saja. misalnya kaidah untuk ibadah mahdhah, kaidah khusus dalam muammalah, kaidah khusus tentang hukum pidana, dan sebagainya. Kaidah-kaidah ini dinamakan qawa’id fiqhiyyah al-khashshah (kaidah-kaidah fikih khusus).
6.      Kedudukan Qawaidul Fiqhiyyah Menurut Ulama
a.       Mazhab Hanafi
Ulama Mazhab Hanafi merupakan kalangan yang pertama kali mengkodifikasikan qawaidul fiqhiyyah. Mereka membentuk prinsip-prinsip umum fikih (fiqhiyyah kulliyah) ke dalam  kaidah-kaidah, kemudian berhujjah dengannya.
Berkaitan dengan kehujjahan qawaidul fiqhiyyah, golongan mazhab Hanafi terbgi menjadi dua kelompok. 
1)   Kelompok pertama, seperti Ibnu Nujaim dan al-Hamawi berpendapat bahwa qawaidul fiqhiyyah tidak dapat dijadikan hujjah, meskipun didukung oleh nash, karena sifatnya yang aghlabiyyah (mayoritas) saja bukan kulliyyah (universal).
2)   Kelompok kedua, seperti al-Karhi, al-Sarakhsi dan al-Dabusi berpendapat bahwa qawaidul fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai hujjah apabila didukung oleh nash yang jelas (konkrit).[24]
b.      Mazhab Maliki
Kalangan mazhab Maliki mengkodifikasikan qawaidul fiqhiyyah pada waktu yang hampir bersamaan dengan ulama mazhab Hanafi. Mazhab Maliki yang dimotori oleh tokoh-tokohnya seperti al-Qarafi, al-Syathibi, Ibnu Farhun, dan al-Bannani menjadikan qawaidul fiqhiyyah yang didukung oleh nash Al-Quran dan Sunnah sebagai hujjah.[25]
c.       Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’i, mayoritas fuqaha’ Syafi’i menerima qawaidul fiqhiyyah yang disepakati sebagai hujjah. Ke-hujjah-an ini terutama ketika menghadapi persoalan yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh nash Al-Quran dan Sunnah.[26]
d.      Mazhab Hambali
Para fuqaha’  mazhab Hambali menggunakan qawaidul fiqhiyyah sebagai hujjah atau dalil dalam menetapkan sebuah hukum, terutama kasus-kasus yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash (al-Quran dan Sunnah). Namun demikian, ada indikator yang menunjukan bahwa mereka mendahulukan hadits dha’if (lemah) daripada qawaidul fiqhiyyah.[27]



BAB III
PENUTUP
-       Kesimpulan
·      Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum islam disebut ta’arudh.
·      Cara menyelesaikan ta’arudh al-adillah yaitu: Nasakh (membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda); Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan; Al-Jam’u wal al-Taufiq, yaitu mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya; dan Tasaquth al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan.
·      Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya berlawanan.
·      Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu: Tarjih ditinjau dari segi sanad, Tarjih ditinjau dari segi matan hadits, Tarjih ditinjau dari segi isi hadits /madlul, Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar hadits.
·      Qawaidul Fiqhiyyah dapat diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang dapat digunakan untuk mengistinbat suatu hukum syara (fiqh).
·      Al-Qawa’id  al-Khamsah adalah lima buah kaidah yang oleh para ulama fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan kaidah-kaidah fiqih lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas terhadap hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup seluruh kaidah-kaidah fikih yang ada.
·      Qawaidul fiqhiyyah yang umum adalah kaidah-kaidah fikih yang yang cakupannnya meliputi berbagai cabang ilmu fikih.




DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta:  Kencana.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta:: PT RajaGrafindo Persada.
Rifa’i, Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.
Rohayana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Utama.
Suhartini, Andewi. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI.
Syafe’i, Rachmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syukur, M Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Uman, Chaerul dan Aminudin, Achyar. 2000. Ushul Fiqh 1: Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK. Bandung: CV Pustaka Setia.
Uman, Khairul dan Aminudin, Achyar. 1991. Ushul Fiqih II. Bandung: CV Pustaka Setia.
Usman, Muhlish.1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.
Zuhaily, Syeikh Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islamy. Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr.


[1] Andewi Suhartini,Ushul Fiqih, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI,2009) hlm. 197
[2]Rachmad  Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih,(Bandung : Pustaka Setia,2007)    hlm. 225
[3]H. Kemal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh: Jilid 1, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995) hlm 167
[4]M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm. 266
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  1996) hlm. 382
[6]Ibid, hlm. 226
[7]Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI, 2009)        hlm. 200
[8]Syeikh Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy,  (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),  Juz 2, hlm. 182-1184
[9]Rachmad  Syafe’i, op.cit., hlm. 242-243
[10]Muhammad Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma’arif, 1973) hlm 155-156
[11]Chaerul Uman., dkk, Ushul Fiqh 1: Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) hlm 206
[12]Muhammad Rifa’i, op.cit., hlm. 157
[13]Ibid., hlm. 157
[14]Ade Dedi Rohayana.Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Jakarta: Gaya Media Utama, 2008)  hlm. 10
[15]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta:  Kencana, 2007) hlm. 3
[16]Ade Dedi Rohayana. op.cit., hlm 38
[17]A. Djazuli, op.cit., hlm. 26
[18]Ibid., hlm. 36
[19]Ibid., hlm. 67
[20]Ade Dedi Rohayana. op.cit., hlm 218
[21]A. Djazuli, op.cit., hlm. 80
[22]Ibid., hlm. 55
[23]Ibid., hlm. 92-108
[24]Ade Dedi Rohayana. op.cit., hlm 254
[25]Ibid., hlm. 262
[26]Ibid., hlm. 270
[27]Ibid., hlm. 278

No comments:

Post a Comment